Jumat, 16 September 2011
Hati Menjawab
Seorang bertanya kepada
gurunya yang mulia,
“Kebanyakan orang
mengatakan bahwa saya
ini orang yang baik, maka
bagaimana saya bisa tahu
bahwa saya benar-benar
orang baik?” Sang guru
pun berkata:
“Nampakkanlah sikap dan
perilaku yang selama ini
kamu sembunyikan di
hadapan orang-orang
baik. Jika mereka merasa
senang, maka itu
pertanda bahwa engkau
adalah orang baik.
Sebaliknya jika mereka
merasa tidak senang,
maka itu adalah pertanda
bahwa engkau bukan
orang baik.”
Rasulullah SAW telah
menjelaskan kepada para
sahabatnya bahwa,
“Kebajikan itu adalah
baiknya budi pekerti dan
dosa itu apa-apa yang
meragu-ragukan dalam
jiwamu dan engkau tidak
suka dilihat orang lain
dalam melakukan hal itu”.
Bahkan dalam hadis lain
disebutkan bahwa
sesungguhnya dari apa
yang telah didapat oleh
manusia dari kata-kata
kenabian yang pertama
adalah, “Jika engkau tidak
malu, berbuatlah
sekehendakmu.”
Ketika sahabat lain
bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang
‘kebaikan', beliau pun
bersabda, “Mintalah fatwa
dari hatimu”. “Kebaikan
itu adalah apa-apa yang
tentram jiwa padanya dan
tentram pula hati
padanya. Dan dosa itu
adalah adalah apa-apa
yang syak dalam jiwa dan
ragu-ragu dalam hati,
walaupun orang-orang
memberikan fatwa
padamu dan mereka
membenarkannya”.
Sesungguhnya Allah SWT
telah memberikan ilham
berupa potensi di dalam
jiwa manusia serta
hidayah untuk dapat
membedakan dan
memilih jalan keburukan
(kefasikan) dan kebaikan
(ketakwaan) sebagai
wujud dari kesempurnaan
ciptaan-Nya. “Dan jiwa
serta penyempurnaan
(ciptaan-Nya), maka Allah
mengilhamkan ke dalam
jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaan” (QS
91:7-8). “Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya
dua jalan (kebajikan dan
kejahatan)” (QS 90: 10).
Dan Allah SWT telah
berfirman pula di dalam
Alquran mulia, “Hanya
pada Tuhanmu sajalah
hari itu tempat kembali.
Pada hari itu akan
diberitakan kepada
manusia apa yang telah
dikerjakannya, dan apa
yang dilalaikannya. Bahkan
manusia itu menjadi saksi
atas dirinya sendiri.
Meskipun dia
mengemukakan alasan-
alasannya” (QS 75: 12-15).
Tujuan utama dari ibadah
puasa, sebagaimana
digariskan oleh Allah SWT
(QS 2: 183), adalah agar
kita bertakwa atau
bertambah takwa. Selain
penghapusan kesalahan
dan pengampunan dosa,
takwa membuahkan
furqan.
Allah SWT berfirman, “Hai
orang-orang yang
beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan
memberikan kepadamu
furqan dan
menghapuskan segala
kesalahan-kesalahanmu
dan mengampuni (dosa-
dosa) mu. Dan Allah
mempunyai karunia yang
besar” (QS Al-Anfal(8):
29).
Dalam bahasa lugas
furqan berarti kriteria,
pembeda antara
kebenaran dan kebatilan.
Menurut ulama tafsir, di
dalamnya terkandung
makna ketegaran jiwa
(tsabatul qulub),
kejernihan mata hati
(quwwatul-bashaair), dan
petunjuk terbaik (husnul
hidayah).
Ibadah puasa melatih
manusia untuk bersikap
tegar dalam menyikapi
dan menghadapi berbagai
kenyataan, permasalahan,
kesulitan dan tekanan
hidup. Puasa melatih
manusia untuk berani
berkata tidak untuk
semua hal yang tidak
disukai Allah SWT, apalagi
yang dilarangnya. Selain
melatih ketajaman
“mata” (sight) untuk
menangkap berbagai
fakta puasa juga melatih
kejernihan “mata hati dan
pikiran” (insight)
membaca apa yang ada di
balik fakta. Dalam Insight
terkandung kemampuan
untuk secara jernih dan
intuitif melihat keadaan
dari suatu situasi yang
kompleks
(perspectiveness) serta
kemampuan untuk
memahami dan
menemukan solusi secara
mandiri (self-awareness).
Puasa membebaskan
manusia dari "bussines as
usual" sehingga dapat
lebih peka menangkap
sinyal-sinyal Ilahi.
Puasa dengan tujuan
takwa mengasah
ketajaman mata, hati,
pikiran dan kesadaran kita
untuk membedakan
kebenaran dan kebatilan.
Dengan furqan (kriteria),
kita dapat mengambil
keputusan dan tindakan
terbaik dengan tegar
sesuai kriteria dan
petunjuk Allah SWT.
Kepada Allah SWT kita
berlindung dari hati yang
menutup diri terhadap
pancaran cahaya Ilahi.
Kepada Zat Yang Maha
Kuasa Membolak-balikkan
hati, kita memohon agar
dapat melihat kebenaran
sebagai kebenaran,
melihat kebatilan sebagai
kebatilan, di manapun,
sampai kapanpun.
Wallahu 'a'lam.
Penulis adalah sahabat
Republika Online yang
tinggal di Texas, USA
kepada
gurunya yang mulia,
“Kebanyakan orang
mengatakan bahwa saya
ini orang yang baik, maka
bagaimana saya bisa tahu
bahwa saya benar-benar
orang baik?” Sang guru
pun berkata:
“Nampakkanlah sikap dan
perilaku yang selama ini
kamu sembunyikan di
hadapan orang-orang
baik. Jika mereka merasa
senang, maka itu
pertanda bahwa engkau
adalah orang baik.
Sebaliknya jika mereka
merasa tidak senang,
maka itu adalah pertanda
bahwa engkau bukan
orang baik.”
Rasulullah SAW telah
menjelaskan kepada para
sahabatnya bahwa,
“Kebajikan itu adalah
baiknya budi pekerti dan
dosa itu apa-apa yang
meragu-ragukan dalam
jiwamu dan engkau tidak
suka dilihat orang lain
dalam melakukan hal itu”.
Bahkan dalam hadis lain
disebutkan bahwa
sesungguhnya dari apa
yang telah didapat oleh
manusia dari kata-kata
kenabian yang pertama
adalah, “Jika engkau tidak
malu, berbuatlah
sekehendakmu.”
Ketika sahabat lain
bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang
‘kebaikan', beliau pun
bersabda, “Mintalah fatwa
dari hatimu”. “Kebaikan
itu adalah apa-apa yang
tentram jiwa padanya dan
tentram pula hati
padanya. Dan dosa itu
adalah adalah apa-apa
yang syak dalam jiwa dan
ragu-ragu dalam hati,
walaupun orang-orang
memberikan fatwa
padamu dan mereka
membenarkannya”.
Sesungguhnya Allah SWT
telah memberikan ilham
berupa potensi di dalam
jiwa manusia serta
hidayah untuk dapat
membedakan dan
memilih jalan keburukan
(kefasikan) dan kebaikan
(ketakwaan) sebagai
wujud dari kesempurnaan
ciptaan-Nya. “Dan jiwa
serta penyempurnaan
(ciptaan-Nya), maka Allah
mengilhamkan ke dalam
jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaan” (QS
91:7-8). “Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya
dua jalan (kebajikan dan
kejahatan)” (QS 90: 10).
Dan Allah SWT telah
berfirman pula di dalam
Alquran mulia, “Hanya
pada Tuhanmu sajalah
hari itu tempat kembali.
Pada hari itu akan
diberitakan kepada
manusia apa yang telah
dikerjakannya, dan apa
yang dilalaikannya. Bahkan
manusia itu menjadi saksi
atas dirinya sendiri.
Meskipun dia
mengemukakan alasan-
alasannya” (QS 75: 12-15).
Tujuan utama dari ibadah
puasa, sebagaimana
digariskan oleh Allah SWT
(QS 2: 183), adalah agar
kita bertakwa atau
bertambah takwa. Selain
penghapusan kesalahan
dan pengampunan dosa,
takwa membuahkan
furqan.
Allah SWT berfirman, “Hai
orang-orang yang
beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan
memberikan kepadamu
furqan dan
menghapuskan segala
kesalahan-kesalahanmu
dan mengampuni (dosa-
dosa) mu. Dan Allah
mempunyai karunia yang
besar” (QS Al-Anfal(8):
29).
Dalam bahasa lugas
furqan berarti kriteria,
pembeda antara
kebenaran dan kebatilan.
Menurut ulama tafsir, di
dalamnya terkandung
makna ketegaran jiwa
(tsabatul qulub),
kejernihan mata hati
(quwwatul-bashaair), dan
petunjuk terbaik (husnul
hidayah).
Ibadah puasa melatih
manusia untuk bersikap
tegar dalam menyikapi
dan menghadapi berbagai
kenyataan, permasalahan,
kesulitan dan tekanan
hidup. Puasa melatih
manusia untuk berani
berkata tidak untuk
semua hal yang tidak
disukai Allah SWT, apalagi
yang dilarangnya. Selain
melatih ketajaman
“mata” (sight) untuk
menangkap berbagai
fakta puasa juga melatih
kejernihan “mata hati dan
pikiran” (insight)
membaca apa yang ada di
balik fakta. Dalam Insight
terkandung kemampuan
untuk secara jernih dan
intuitif melihat keadaan
dari suatu situasi yang
kompleks
(perspectiveness) serta
kemampuan untuk
memahami dan
menemukan solusi secara
mandiri (self-awareness).
Puasa membebaskan
manusia dari "bussines as
usual" sehingga dapat
lebih peka menangkap
sinyal-sinyal Ilahi.
Puasa dengan tujuan
takwa mengasah
ketajaman mata, hati,
pikiran dan kesadaran kita
untuk membedakan
kebenaran dan kebatilan.
Dengan furqan (kriteria),
kita dapat mengambil
keputusan dan tindakan
terbaik dengan tegar
sesuai kriteria dan
petunjuk Allah SWT.
Kepada Allah SWT kita
berlindung dari hati yang
menutup diri terhadap
pancaran cahaya Ilahi.
Kepada Zat Yang Maha
Kuasa Membolak-balikkan
hati, kita memohon agar
dapat melihat kebenaran
sebagai kebenaran,
melihat kebatilan sebagai
kebatilan, di manapun,
sampai kapanpun.
Wallahu 'a'lam.
Penulis adalah sahabat
Republika Online yang
tinggal di Texas, USA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar