Halaman

Kamis, 25 Agustus 2011

Maaf

Oleh Salahuddin El
Ayyubi MA
Suatu ketika pelayan
Imam Hasan Al-Bashri
menyampaikan bahwa
seseorang telah
menjelek-jelekkan
namanya. Mendengar hal
tersebut, sang Imam
kemudian memanggil
pelayan dan memintanya
untuk memberikan kurma
pada orang tersebut.
Pelayan berkata, “wahai
imam, bukankah dia telah
menjelekkanmu di
hadapan orang banyak.
Tapi kenapa engkau
malah memberinya
kurma?” Sang imam pun
menjawab, “Bukankah
sudah sepantasnya aku
memberikan hadiah bagi
orang yang telah
membuat diriku di sisi
Allah SWT”.
“Apa maksud semua ini
wahai Jibril?” Tanya Rasul
SAW pun ketika turun
ayat: “Jadilah engkau
pema'af dan suruhlah
orang mengerjakan yang
ma'ruf serta berpalinglah
dari pada orang-orang
yang bodoh” (Al-A’raf:
199). Jibril pun menjawab,
“Wahai Rasul Allah,
sesungguhnya Allah SWT
memerintahkanmu untuk
memaafkan orang yang
menzalimimu, memberi
kepada orang yang pelit
kepadamu, dan
menyambung silaturahim
kepada orang yang
memutuskannya
denganmu”.
Jadilah pribadi yang
tenang dan
menenangkan. Bukan
pribadi yang gelisah dan
penuh amarah. Tenang
bukan berarti tidak
mampu, tenang bukan
berarti kalah, tenang
bukan berarti lambat.
Tenang adalah seni
menyampaikan kritikan
dengan bahasa yang
lembut, tenang adalah
penyampaian fakta keras
dengan cara yang lembut,
tenang adalah penolakan
berat dengan cara yang
ringan. Itulah yang
ditunjukkan oleh Rasul
SAW ketika penduduk
Thaif melempari beliau
dengan batu. Beliau
malah berdoa,
“Allahummahdii qawmii
fainnahum laa
ya’lamuun” (Ya Allah
berilah hidayah kepada
kaumku ini, karena
sesungguhnya mereka
tidak tahu apa-apa).
Memang bukan perkara
yang mudah untuk
menahan marah atau
emosi. Apalagi kemudian
membalasnya dengan hal
yang sebaliknya. Tidak
semua orang mampu
melakukannya. Sehingga
ketika Abdullah bin Amr
menanyakan hal apakah
yang bisa menjauhkannya
dari murka Allah?
Rasulullah menjawab:
“Laa taghdhab (Janganlah
kau marah)” (HR Imam
Ahmad)
Dalam satu hadis yang
diriwayatkan oleh Abu
Hurairah tentang
keutamaan puasa,
Rasulullah SAW bersabda:
“…Jika ada seseorang yang
mencaci dan mengajak
berkelahi maka
katakanlah, “Saya sedang
berpuasa. Demi Zat yang
jiwaku berada di
genggaman Nya, sungguh
bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada bau
minyak kasturi….”. (HR
Bukhari).
Mulut yang senantiasa
mengucapkan kata-kata
indah bukan kata-kata
kotor, kata-kata yang
menyejukkan bukan yang
menyakiti, kata-kata yang
menenangkan bukan yang
menggelisahkan, kata-
kata yang memaafkan
bukan yang mendendam,
kata-kata yang
memuliakan bukan yang
menghinakan.
“Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang
yang antaramu dan antara
dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-
orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-
orang yang mempunyai
keuntungan yang
besar” (Surah Fussilat:
34-35).
Penulis adalah
cendekiawan Muslim
__________________
__________________
_________________
Anda ingin BERSEDEKAH
pengetahuan dan
kebaikan? Mari berbagi
hikmah dengan pembaca
Republika Online. Kirim
naskah Anda melalui
hikmah@
rol.republika.co.id. Rubrik
ini adalah forum dari dan
untuk sidang pembaca
sekalian, tidak disediakan
imbalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar